Penerapan Pendekatan Scientific Kurikulum 2013 by Ramli Thereds
Senin, 02 Juni 2014
Selasa, 11 Maret 2014
Rabu, 19 Februari 2014
Senin, 10 Februari 2014
Senin, 03 Februari 2014
Minggu, 02 Februari 2014
Senin, 06 Januari 2014
Pendekatan Gaya Mengajar Problem Solving
Sewaktu kuliah materi ini yang
kuperdebatkan dengan dosenku,,, aku awalnya ga' yakin, tapi ternyata bisa juga
diterapkan di penjas, cuma akhirnya berubah ke gaya yang lain yg disebut dengan
gaya diskoveri tertuntun.
terima kasih prof... ternyata ga' ada yg ga' mungkin di dunia ini.... (tapi kenapa aku dapat nilai B)....
akhirnya sambil minum kopi + dengarin celoteh tukul di TV, kubuatlah tulisan ini sambil mengingat-ngingat apa yang kuperdebatkan dengan dosenku dulu. Kesimpulannya seperti ini:
Ciri-cirinya.......
Gaya mengajar pemecahan masalah terdiri atas masukan informasi pemikiran, pemilihan dan respon. Masalahnya harus dirancang sehingga jawabannya bukan hanya satu jawaban. Bila demikian, gaya ini berubah menjadi gaya yang disebut diskoveri tertuntun.
Masalahnya dirancang dari yang mudah ke yang sukar. Misalnya, “apa perbedaan hasil lemparan bola dalam keadaan kedua kaki diam di atas lantai dengan hasil lemparan dalam posisi kedua kaki sambil bergerak?” Pertanyaan bisa semakin sulit. Misalnya, “bagaimana bentuk gerakan lanjutan kaki untuk menendang dalam sepak bola agar bola tidak melambung jauh diatas seperti kelas 5 dan 6 SD. Makin meningkat usia siswa, seperti sudah menginjak jenjang SLTP, maka mutu pertanyaannya pun kian meningkat. Pertanyaan seperti ini dimaksudkan untuk merangsang penalaran siswa.
Pelaksanaannya...
Langkah-langkah pelaksanaan gaya mengajar pemecahan masalah sebagai berikut:
terima kasih prof... ternyata ga' ada yg ga' mungkin di dunia ini.... (tapi kenapa aku dapat nilai B)....
akhirnya sambil minum kopi + dengarin celoteh tukul di TV, kubuatlah tulisan ini sambil mengingat-ngingat apa yang kuperdebatkan dengan dosenku dulu. Kesimpulannya seperti ini:
Ciri-cirinya.......
Gaya mengajar pemecahan masalah terdiri atas masukan informasi pemikiran, pemilihan dan respon. Masalahnya harus dirancang sehingga jawabannya bukan hanya satu jawaban. Bila demikian, gaya ini berubah menjadi gaya yang disebut diskoveri tertuntun.
Masalahnya dirancang dari yang mudah ke yang sukar. Misalnya, “apa perbedaan hasil lemparan bola dalam keadaan kedua kaki diam di atas lantai dengan hasil lemparan dalam posisi kedua kaki sambil bergerak?” Pertanyaan bisa semakin sulit. Misalnya, “bagaimana bentuk gerakan lanjutan kaki untuk menendang dalam sepak bola agar bola tidak melambung jauh diatas seperti kelas 5 dan 6 SD. Makin meningkat usia siswa, seperti sudah menginjak jenjang SLTP, maka mutu pertanyaannya pun kian meningkat. Pertanyaan seperti ini dimaksudkan untuk merangsang penalaran siswa.
Pelaksanaannya...
Langkah-langkah pelaksanaan gaya mengajar pemecahan masalah sebagai berikut:
- Penyajian masalah. Guru menyajikan masalah kepada siswa dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan yang merangsang untuk berfikir. Tidak ada penjelasan atau demonstrasi karena pemecahannya bersumber dari anak.
- Tentukan Prosedur. Para siswa harus memikirkan prosedur yang dibutuhkan untuk mencapai pemecahan. Bila usia anak masih muda seperti di kelas awal (kelas 1, 2, atau 3), maka persoalan yang diajukan juga lebih sederhana.
- Bereksperimen dan mengeksplorasi. Dalam bereksprerimen siswa mencoba beberapa kemungkinan cara memecahkan masalah serta menilai dan membuat sebuah pilihan. Ketika mencari-cari jawaban, anaklah yang menentukan arah pemecahannya. Sementara hanya berperan sebagai penasihat, seperti menjawab pertanyaan membantu, memberikan komentar, dan mendorong siswa. Namun, ia tidak mengemukakan jawaban. Waktu harus dirancang cukup untuk mencari jawaban.
- Mengamati, mengevaluasi, dan berdiskusi. Setiap anak perlu memperoleh kesempatan untuk mengemukakan jawaban dan mengamati apa yang ditemukan siswa lainnya. aneka macam hasil temua dapat dipertunjukkan oleh anak secara perorangan, kelompok kecil, rombongan yang agak besar, atau bagian dari kelas. Diskusi terpusat pada pengujian pemecahan yang khas.
- Penghalusan dan perluasan. Setelah mengamati pemecahan yang diajukan siswa
lainnya dan mengevaluasi alasan di balik pemecahan yang dipilih, apa yang perlu
dilakukan. Setiap anak memperoleh kesempatan untuk bekerja kembali melakukan
pola geraknya, menggabungkan satu gagasan dengan gagasan lainnya.
Saran Buat Para Pelatih (Jelang Penjas Cup 09)
Tulisan ini terinspirasi jelang Penjas Cup 09,,,, iseng-iseng nulisnya... terutama setelah nonton acara bola
diberbagai liga di TV. Daripada hanya tinggal diotakku doang,,, mending
kutumpahkan ke blog ini,,, moga bisa bermanfaat....
Salam olahraga.....
Betapa pun bagus skill yang dimiliki para pemain sebuah tim, semuanya tidak akan banyak berarti jika tidak didukung dengan taktik dan strategi yang handal. Sebagaimana dalam sebuah peperangan, taktik dan strategi memegang peranan yang amat menentukan bagi kalah dan menangnya sebuah tim. Oleh karena itu, semua pemain dalam sebuah tim harus memahami strategi dan taktik yang telah ditetapkan. Jika tidak demikian, permainan tim tersebut tidak akan ’menyatu’. Masing-masing pemain akan bermain sendiri-sendiri tanpa kerjasama dan koordinasi yang baik. Berikut ini beberapa hal penting seputar strategi dan taktik bermain sepakbola.
It's ok,,,, selamat menerapkan .....
Salam olahraga.....
Betapa pun bagus skill yang dimiliki para pemain sebuah tim, semuanya tidak akan banyak berarti jika tidak didukung dengan taktik dan strategi yang handal. Sebagaimana dalam sebuah peperangan, taktik dan strategi memegang peranan yang amat menentukan bagi kalah dan menangnya sebuah tim. Oleh karena itu, semua pemain dalam sebuah tim harus memahami strategi dan taktik yang telah ditetapkan. Jika tidak demikian, permainan tim tersebut tidak akan ’menyatu’. Masing-masing pemain akan bermain sendiri-sendiri tanpa kerjasama dan koordinasi yang baik. Berikut ini beberapa hal penting seputar strategi dan taktik bermain sepakbola.
- Ketika tim kita menyerang, jangan lupakan pertahanan. Tim yang kuat bukanlah tim yang hanya hebat dalam menyerang. Lebih dari itu, kemampuan bertahan sama pentingnya dengan kemampuan menyerang.
- Ketika tim kita kehilangan bola, maka tim kita harus beralih dari ’menyerang’ menuju ’bertahan’. Secara umum, jika tim kita bertahan maka hendaknya posisi para pemain saling berdekatan satu sama lain untuk membentuk pertahanan yang masif. Adapun jika tim kita menyerang maka hendaknya posisi para pemain saling berjauhan untuk menciptakan ruang-ruang yang lebar dan untuk menceraiberaikan pertahanan lawan.
- Ketika tim kita bertahan (kehilangan bola), lebih baik jika kita membayangi lawan-lawan kita dengan berdiri di belakang mereka karena mereka nantinya akan menuju ke arah kita dan agar ia tidak lepas dari kawalan kita karena kita bisa terus melihatnya.
- Menyerang bisa dilakukan dengan dua cara: 1) Serangan langsung (direct attack): dilakukan dengan mengusahakan agar bola secepat mungkin bisa memasuki daerah pertahanan lawan, yakni dengan banyak melakukan umpan ke arah depan. 2) Serangan tidak langsung (indirect attack): akan berlangsung lebih lambat karena kita akan menggunakan umpan-umpan ke samping dan ke belakang sembari mencari celah kelemahan lawan. Jika para pemain tim kita kurang terampil dan tidak terlalu mahir dalam umpan-mengumpan, sebisa mungkin kita senantiasa menyerang secara langsung.
- Jika tim Anda ingin membangun serangan dari belakang (berarti bola dari belakang akan ditransfer ke tengah dulu baru kemudian ke depan) maka tim Anda harus memiliki para pemain belakang yang cukup terampil (jika tidak, lawan akan dengan mudah bisa mencuri bola dari para pemain belakang tim Anda) dan juga para pemain tengah yang bisa mengatasi para pemain tengah lawan.
- Berdasarkan bagaimana umpan-umpan dilakukan, terdapat dua gaya bermain: 1) Gaya menguasai bola (possession style): dilakukan dengan melakukan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki. Yang perlu diperhatikan ketika menggunakan gaya bermain ini adalah untuk tidak lupa bahwa tujuan utama bermain adalah mencetak gol. Jangan hanya asyik melakukan banyak umpan-umpan pendek tetapi melupakan tujuan utama permainan. 2) Gaya bola-bola panjang (long passes style). Adalah hal yang mungkin untuk menggabungkan dua gaya bermain tersebut. Contohnya adalah Ajax Amsterdam yang seringkali menggunakan possession style di sepertiga tengah lapangan dilanjutkan dengan secara tiba-tiba melakukan umpan panjang ke kotak penalti. Tentu saja, harus ada penyerang yang sudah siap menyambut bola panjang tersebut dan mengeksekusinya.
- Jika tim Anda bermain dengan bola-bola panjang (pemain belakang sering memberikan umpan panjang langsung ke pemain depan), usahakan agar tim Anda tetap melakukan umpan-umpan pendek di daerah pertahanan lawan. Jika tidak, tim Anda akan kesulitan untuk melakukan finishing.
- Jika pertahanan lawan cenderung maju, sangat baik jika tim kita sering melakukan serangan balik dengan cepat. Namun jika pertahanan lawan cenderung tetap di belakang dan memelihara kedalaman, sangat baik jika kita menyerang dengan umpan-umpan pendek.
- Dalam serangan mesti terlibat dua atau tiga orang penyerang: 1) penyerang pertama, yakni penyerang yang membawa bola, 2) penyerang kedua, dan 3) penyerang ketiga. Penyerang kedua dan penyerang ketiga hendaknya berlari kira-kira tiga langkah lebih ke belakang daripada penyerang pertama untuk menghindari offside.
- Ketika tim Anda menyerang hendaknya para pemain belakang juga ikut menekan ke depan sehingga bisa men-support serangan dan melakukan pressure terhadap bola, sekaligus untuk membuat lawan mudah terperangkap offside. Tetapi ada syaratnya: para pemain belakang tersebut mesti memiliki kecepatan dan stamina yang baik. Lebih aman lagi jika tim Anda memiliki seorang sweeper.
- Ketika tim Anda menyerang dan memasuki daerah lawan, sangatlah baik untuk memanfaatkan lebar lapangan karena hal ini akan membuat barisan pertahanan lawan menyebar dan tercerai-berai, sehingga terciptalah celah-celah untuk menembus pertahanan mereka.
- Jika para pemain tim Anda mahir dalam menguasai bola, perhatikanlah bahwa di lapangan biasanya terbentuk dua daerah: daerah padat dan daerah kosong. Pancinglah para pemain lawan untuk membentuk daerah padat dan menyisakan daerah kosong pada bagian lapangan yang lain. Lalu, dengan cara yang sulit diantisipasi, pindahkanlah bola ke daerah kosong dan dari sana ciptakanlah gol ke gawang lawan.
- Agar tim Anda bisa melakukan serangan balik (counterattack), pastikan bahwa ketika pertahanan tim Anda terdesak, masih ada satu atau dua orang penyerang tim Anda yang tetap berada di tengah lapangan atau bahkan lebih ke depan lagi, tergantung pada posisi bek lawan.
- Ketika bola dikuasai oleh lawan di sekitar gawang kita, kita harus melakukan pressure terhadap bola sehingga serangan mereka bisa kita patahkan atau setidak-tidaknya kita hambat. Adapun ketika lawan menguasai bola di daerah pertahanan mereka, kita juga harus melakukan pressure terhadap bola sehingga kita bisa merebut dan menguasai bola untuk kemudian mencetak gol. Hendaknya para pemain depan tim kita senantiasa berusaha untuk bisa mencuri bola yang sedang dikuasai oleh para pemain belakang lawan. Jika hal itu berhasil dilakukan, peluang mencetak gol cukuplah besar.
- Dalam permainan, tim kita harus menentukan formasi bermainnya. Kita menentukan formasi tertentu untuk memastikan adanya support, depth, width, and field coverage baik dalam serangan ataupun pertahanan. Setiap pemain mesti bertanggung jawab atas posisi atau daerahnya. Sebagai contoh, seorang pemain sebelah kanan jangan sampai berada terlalu jauh di sebelah kiri lapangan (kecuali kalau ada cross over, itupun untuk sementara waktu saja), karena akan menyebabkan kekosongan di daerahnya. Setiap pemain harus memainkan posisinya dengan baik dan mempercayai teman-temannya untuk memainkan posisi mereka masing-masing. Penentuan formasi tim hendaknya didasarkan pada: 1) kemampuan (keterampilan) para pemain tim kita, 2) kecepatan dan daya tahan para pemain tim kita, 3) panjang dan lebar lapangan, 4) kekuatan dan kelemahan tim lawan.
It's ok,,,, selamat menerapkan .....
Pendekatan Gaya Mengajar Eksplorasi Terbatas
Hari itu (lupa hari dan tgl nya)? masih dalam suasana PLPG Samarinda 2010
yang kuingat aku begitu tidak percaya diri, jengkel... dosen senior mendominasi kelas PLPG, dan kesepian... (+ my honey + andra dan dava ku ke luar kota).
Jelang istirahat, tiba-tiba ada peserta PLPG yg nyerocos aja bertanya sambil memamerkan gigi ginsulnya, Pak saya mau nanya... !!!!!
kaget.. iya .... tapi dia wanita, seorang guru muda. hmmmm lumayan poin 70. Jadi ga' apa2 meski mengagetkan tapi ada sisi indahnya sekaligus bisa nemani aku makan siang.
sambil nunggu pesanan... si "sipit" berujar...
gini pak.. kemarin bapak menjelaskan tentang gaya mengajar eksplorasi tak terbatas,pasti ada dong gaya eksplorasi terbatasnya????
sambil tersenyum... hhmm inilah saatnya kuperlihatkan, tidak semuanya kita harus belajar ke negeri Cina,, Indonesia juga BISA.
lalu kujawablah:
Ciri-cirinya.......
Tugas guru ialah menyiapkan pelajaran, materi dan petunjuk umum. Siswa bertugas untuk menentukan sendiri respon yang sesuai. gaya ini cocok untuk pengayaan gerak dan mengembangkan beberapa pola gerak untuk keterampilan khusus.
Pelaksanaannya.....
Bila mempelajari keterampilan manipulatif (misalnya, keterampilan melempar bola dengan tangan) siswa dapat memperlihatkan beberapa cara melambung dan menangkap bola sambil berdiri di tempat. Faktor apa yang terbatas? Keterampilan menangkap sambil berdiri di tempat. Contoh lainnya bila siswa berlatih bersama temannya, misalnya keterampilan memainkan bola mereka dapat melempar atau memantulkan bola dengan beberapa cara seperti bolak balik di antara mereka.
ghitu bu..
yaahh ngerti pak... kapan-kapan aku hubungi lagi ya pak. No TLP nya berapa...? ......Adduh....
sory, honey aku berikan no tlpku....
Aku pergi tapi hatiku kusimpan di sini, itu katamu pada saat aku antar ke bandara....
yang kuingat aku begitu tidak percaya diri, jengkel... dosen senior mendominasi kelas PLPG, dan kesepian... (+ my honey + andra dan dava ku ke luar kota).
Jelang istirahat, tiba-tiba ada peserta PLPG yg nyerocos aja bertanya sambil memamerkan gigi ginsulnya, Pak saya mau nanya... !!!!!
kaget.. iya .... tapi dia wanita, seorang guru muda. hmmmm lumayan poin 70. Jadi ga' apa2 meski mengagetkan tapi ada sisi indahnya sekaligus bisa nemani aku makan siang.
sambil nunggu pesanan... si "sipit" berujar...
gini pak.. kemarin bapak menjelaskan tentang gaya mengajar eksplorasi tak terbatas,pasti ada dong gaya eksplorasi terbatasnya????
sambil tersenyum... hhmm inilah saatnya kuperlihatkan, tidak semuanya kita harus belajar ke negeri Cina,, Indonesia juga BISA.
lalu kujawablah:
Ciri-cirinya.......
Tugas guru ialah menyiapkan pelajaran, materi dan petunjuk umum. Siswa bertugas untuk menentukan sendiri respon yang sesuai. gaya ini cocok untuk pengayaan gerak dan mengembangkan beberapa pola gerak untuk keterampilan khusus.
Pelaksanaannya.....
Bila mempelajari keterampilan manipulatif (misalnya, keterampilan melempar bola dengan tangan) siswa dapat memperlihatkan beberapa cara melambung dan menangkap bola sambil berdiri di tempat. Faktor apa yang terbatas? Keterampilan menangkap sambil berdiri di tempat. Contoh lainnya bila siswa berlatih bersama temannya, misalnya keterampilan memainkan bola mereka dapat melempar atau memantulkan bola dengan beberapa cara seperti bolak balik di antara mereka.
ghitu bu..
yaahh ngerti pak... kapan-kapan aku hubungi lagi ya pak. No TLP nya berapa...? ......Adduh....
sory, honey aku berikan no tlpku....
Aku pergi tapi hatiku kusimpan di sini, itu katamu pada saat aku antar ke bandara....
Pendekatan Gaya Mengajar Eksplorasi Tak Terbatas
Pertanyaan dari judul di atas muncul
ketika peserta bertanya pada saat saya menyampaikan materi pada sertifikasi guru (PLPG Samarinda tahun
2010), sempat kaget juga, tapi itu ga' jadi soal, hanya perlu
menenangkan diri sejenak, terus mengingat eksplorasi karya Prie GS (Hidup ini keras, maka gebuklah!) dan kecantikan Aura
Kasih... bereesssss lahhh.
Lalu kujawab aja.....
Kita mulai dari...
Ciri-ciri......
Dalam gaya ekplorasi terbatas, guru membantu menyediakan alat-alat pengajaran dan merancang tugas yang akan dijelajahi. Petunjuk yang disampaikan guru bisa begini: “Hari ini, separuh waktu bebas kamu isi dengan aneka kegiatan, dan silahkan mencari dan memakai alat yang dibutuhkan.”
“Ambil bola dan silahkan memainkannya sesuka hatimu” Tidak ada batas, kecuali faktor keselamatan siswa. Guru cuma mengingatkan bagaimana menggunakan alat.
Pelaksanaan.....
Karena diutamakan kemampuan siswa mencari cara pemecahannya sendiri, maka tidak ada contoh atau demonstrasi dari pihak guru. Jadi guru menghindari pemberian petunjuk dan hasil yang harus dicapai, kecuali mengingatkan beberapa hal seperti cara memakai alat. Hal itu untuk mencegah anak meniru atau tidak kreatif.
Prinsip........
selessaai....... dan peserta itu pun mengangguk-nggagguk,, (seraya mengumbar senyum termanisnya)
sayang,,,,,,, you berkumis!!!!!!
Lalu kujawab aja.....
Kita mulai dari...
Ciri-ciri......
Dalam gaya ekplorasi terbatas, guru membantu menyediakan alat-alat pengajaran dan merancang tugas yang akan dijelajahi. Petunjuk yang disampaikan guru bisa begini: “Hari ini, separuh waktu bebas kamu isi dengan aneka kegiatan, dan silahkan mencari dan memakai alat yang dibutuhkan.”
“Ambil bola dan silahkan memainkannya sesuka hatimu” Tidak ada batas, kecuali faktor keselamatan siswa. Guru cuma mengingatkan bagaimana menggunakan alat.
Pelaksanaan.....
Karena diutamakan kemampuan siswa mencari cara pemecahannya sendiri, maka tidak ada contoh atau demonstrasi dari pihak guru. Jadi guru menghindari pemberian petunjuk dan hasil yang harus dicapai, kecuali mengingatkan beberapa hal seperti cara memakai alat. Hal itu untuk mencegah anak meniru atau tidak kreatif.
Prinsip........
- Dalam penerapan gaya eksplorasi tak terbatas, tidak berarti guru tidak aktif. Dalam praktek ia berkeliling memberikan dorongan dan menjawab pertanyaan yang dikemukakan secara perorangan.
- Guru memusatkan perhatiannya untuk memotivasi siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa agar mandiri dan kemudian semakin mandiri sesuai dengan perkembangan anak.
selessaai....... dan peserta itu pun mengangguk-nggagguk,, (seraya mengumbar senyum termanisnya)
sayang,,,,,,, you berkumis!!!!!!
Penjas, Bermain dan Olahraga
Dalam memahami arti pendidikan jasmani,
kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan olahraga
(sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan
dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu para guru
atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara
lebih konseptual.
Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
Psikologi Olahraga
a. Pengertian
Psikologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gejala kejiwaan manusia. Sedangkan kejiwaan atau jiwa adalah merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, yang berarti tidak dapat dilihat dan belum dapat diungkapkan secara jelas dan lengkap. Oleh karena itu, untuk mengungkapnya para ahli cenderung untuk mempelajari kejiwaan yang terjelma ke dalam jasmani manusia dalam bentuk perilaku fisik, yaitu segala aktivitas, perbuatan, atau penampilan diri manusia dalam hidupnya. Dengan demikian sebenarnya bahwa perilaku manusia merupakan pencerminan dari kejiwaannya, sehingga psikologi dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang perilaku atau tingkahlaku manusia.
Psikologi olahraga adalah merupakah salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu hasil perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sejak akhir abab ke-19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil-hasil penelitian psikologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tumbuh dan berkembang apa yang disebut sebagai psikologi terapan (applied psychology) di berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah dalam bidang olahraga.
Pada awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertical, artinya bahwa psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup disiplin ilmunya sendiri, yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu (belum dikaitkan dengan hal lain disekitarnya). Sedangkan manusia sebenarnya bukan hanya individu, melainkan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti segala perilaku tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan. Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan disiplin ilmunya secara vertical melainkan juga harus mengembangkan psikologi secara horisontal. Maksudnya adalah bahwa psikologi mulai mengembangkan diri dengan memasuki disiplin ilmu yang lain. Oleh karena olahraga juga merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, maka dalam perkembangan secara horisontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan perpaduan antara psikologi dan olahraga.
b. Psikologi olahraga
Manusia dapat juga dikatakan makhluk inono dualisme, artinya bahwa manusia adalah merupakan kesatuan tak terpisahkan antara dua aspek yang saling berbeda yaitu jiwa dan raga. Di satu sisi aspek fisik atau raga dapat dilihat, diraba, tampak nyata oleh indera manusia, disisi lain aspek kejiwaan (psikologis) adalah aspek yang bersifat abstrak, yang tidak dapat diraba, tidak tampak oleh mata manusia. Aspek jiwa dan raga yang merupakan kesatuan, sudah tentu antara keduanya yaitu antara jiwa dan raga akan saling mempengaruhi. Dengan demikian segala sesuatu yang dialami, diperbuat dan dicapai oleh manusia, akan sangat tergantung dari kedua aspek tersebut. Dengan kata lain, bahwa segala perilaku atau tingkah laku manusia tidak akan terlepas dari pengaruh aspek jiwa dan raga atau aspek fisik dan psikologisnya. Oleh karena itu, semua yang dirasakan atau dialami oleh kejiwaan akan terasa pula oleh raganya. Hal ini kiranya sudah sejak jaman dahulu disadari dan dimengerti, bahwa antara jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi.
Hal ini dapat dilihat dan dirasakan pada kejadian sehari-hari, baik yang dialami oleh orang lain maupun kita alami sendiri. Misalnya, apabila seseorang atau kita sendiri sedang mengalami suatu kekecewaan yang mendalam, situasi ini dapat dikatakan bahwa orang itu atau kita sedang mengalami gangguan kejiwaan, maka untuk menggerakkan raga rasanya menjadi berat. Bahkan tidak jarang karena suatu kekecewaan, akan mengakibatkan timbulnya suatu penyakit tertentu. Contoh lain misalnya seseorang atau kita sendiri dalam melakukan kegiatan olahraga, karena sebab tertentu kemudian mengalami cedera berat seperti patah kaki misalnya. Akibat yang langsung dirasakaan adalah rasa sakit, selain akibat setelah sembuh nanti. Dengan patah kaki berarti akan menjadi cacat (karena kakinya harus dipotong misalnya), hal ini akan mengakibatkan munculnya rasa rendah diri, malu kepada orang lain, hingga ia akan selalu murung dan mengurung diri, dan merasa sudah tidak mempunyai masa depan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dialami raga kita, juga akan berpengaruh terhadap jiwa kita. Kiranya mengenai hubungan dan pengaruh antara jiwa dan raga ini sudah tidak diragukan dan disangkal lagi hingga sebenarnya kita semua telah mengerti dan menyadari sepenuhnya hal itu.
Jika keyakinan sudah demikian seharusnya kita juga dapat memperlakukan, merawat, dan memperhatikan dua aspek tersebut yaitu jiwa dan raga kita secara seimbang. Artinya bahwa kita selain harus memperhatikan, memperlakukan, merawat dan membina raga kita, juga harus merawat, memperhatikan, memperlakukan dan membina kejiwaan kita secara seimbang atau sama dengan memperlakukan dan membina raga kita. Namun demikian kenyataannya sampai saat ini belum demikian, artinya bahwa perlakuan kita terhadap raga dan kejiwaan kita masih berat sebelah atau belum seimbang.
Sekalipun telah dimengerti bahwa antara jiwa dan raga saling mempengaruhi dan seharusnya mendapatkan perhatia yang sama, namun masih banyak orang yang karena lupa atau sebab lain atau tanpa disadari, memperlakukan aspek jiwa dan rasa ini dengan tidak adil atau tidak seimbang, yaitu lebih banyak menekankaan perhatiannya atau pembinaannya terhadap aspek raga saja. Hal ini banyak contoh yang dapat kita saksikan.
Seseorang yang merasa sakit atau menderita sakit tertentu, sebagai usaha penyembuhan biasanya dibawa ke dokter. Setelah ke dokter yang satu penyakitnya tidak kunjung sembuh, kemudian ke dokter lain, demikian seterusnya. Hal ini karena pada umumnya mereka hanya melihat akibat semata, tanpa melihat atau memang tidak tahu sebabnya. Sebagai akibat yang terlihat atau yang terasa memang sakit secara fisik, tetapi dapat juga disebabkan faktor psikologis. Namun sebagai akibatnya (seperti yang sudah disebutkan sebelumnya) bisa sama yaitu sakit secara fisik. Jika memang penyebabnya adalah faktor fisik (fisiologis), maka memang tepat dibawa ke dokter umum. Tetapi jika yang menjadi penyebabnya adalah faktor psikologis, walaupun setelah diobati oleh dokter umum menjadi sembuh, tetapi kemungkinan penyakit itu akan muncul kembali setelah pengaruh obat yang diberikan telah habis. Jika memang demikian, maka sebaiknya dibawa ke psikiater untuk dicari penyebab dari aspek yang lain yaitu aspek psikologis.
Psikologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gejala kejiwaan manusia. Sedangkan kejiwaan atau jiwa adalah merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, yang berarti tidak dapat dilihat dan belum dapat diungkapkan secara jelas dan lengkap. Oleh karena itu, untuk mengungkapnya para ahli cenderung untuk mempelajari kejiwaan yang terjelma ke dalam jasmani manusia dalam bentuk perilaku fisik, yaitu segala aktivitas, perbuatan, atau penampilan diri manusia dalam hidupnya. Dengan demikian sebenarnya bahwa perilaku manusia merupakan pencerminan dari kejiwaannya, sehingga psikologi dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang perilaku atau tingkahlaku manusia.
Psikologi olahraga adalah merupakah salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu hasil perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sejak akhir abab ke-19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil-hasil penelitian psikologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tumbuh dan berkembang apa yang disebut sebagai psikologi terapan (applied psychology) di berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah dalam bidang olahraga.
Pada awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertical, artinya bahwa psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup disiplin ilmunya sendiri, yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu (belum dikaitkan dengan hal lain disekitarnya). Sedangkan manusia sebenarnya bukan hanya individu, melainkan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti segala perilaku tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan. Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan disiplin ilmunya secara vertical melainkan juga harus mengembangkan psikologi secara horisontal. Maksudnya adalah bahwa psikologi mulai mengembangkan diri dengan memasuki disiplin ilmu yang lain. Oleh karena olahraga juga merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, maka dalam perkembangan secara horisontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan perpaduan antara psikologi dan olahraga.
b. Psikologi olahraga
Manusia dapat juga dikatakan makhluk inono dualisme, artinya bahwa manusia adalah merupakan kesatuan tak terpisahkan antara dua aspek yang saling berbeda yaitu jiwa dan raga. Di satu sisi aspek fisik atau raga dapat dilihat, diraba, tampak nyata oleh indera manusia, disisi lain aspek kejiwaan (psikologis) adalah aspek yang bersifat abstrak, yang tidak dapat diraba, tidak tampak oleh mata manusia. Aspek jiwa dan raga yang merupakan kesatuan, sudah tentu antara keduanya yaitu antara jiwa dan raga akan saling mempengaruhi. Dengan demikian segala sesuatu yang dialami, diperbuat dan dicapai oleh manusia, akan sangat tergantung dari kedua aspek tersebut. Dengan kata lain, bahwa segala perilaku atau tingkah laku manusia tidak akan terlepas dari pengaruh aspek jiwa dan raga atau aspek fisik dan psikologisnya. Oleh karena itu, semua yang dirasakan atau dialami oleh kejiwaan akan terasa pula oleh raganya. Hal ini kiranya sudah sejak jaman dahulu disadari dan dimengerti, bahwa antara jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi.
Hal ini dapat dilihat dan dirasakan pada kejadian sehari-hari, baik yang dialami oleh orang lain maupun kita alami sendiri. Misalnya, apabila seseorang atau kita sendiri sedang mengalami suatu kekecewaan yang mendalam, situasi ini dapat dikatakan bahwa orang itu atau kita sedang mengalami gangguan kejiwaan, maka untuk menggerakkan raga rasanya menjadi berat. Bahkan tidak jarang karena suatu kekecewaan, akan mengakibatkan timbulnya suatu penyakit tertentu. Contoh lain misalnya seseorang atau kita sendiri dalam melakukan kegiatan olahraga, karena sebab tertentu kemudian mengalami cedera berat seperti patah kaki misalnya. Akibat yang langsung dirasakaan adalah rasa sakit, selain akibat setelah sembuh nanti. Dengan patah kaki berarti akan menjadi cacat (karena kakinya harus dipotong misalnya), hal ini akan mengakibatkan munculnya rasa rendah diri, malu kepada orang lain, hingga ia akan selalu murung dan mengurung diri, dan merasa sudah tidak mempunyai masa depan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dialami raga kita, juga akan berpengaruh terhadap jiwa kita. Kiranya mengenai hubungan dan pengaruh antara jiwa dan raga ini sudah tidak diragukan dan disangkal lagi hingga sebenarnya kita semua telah mengerti dan menyadari sepenuhnya hal itu.
Jika keyakinan sudah demikian seharusnya kita juga dapat memperlakukan, merawat, dan memperhatikan dua aspek tersebut yaitu jiwa dan raga kita secara seimbang. Artinya bahwa kita selain harus memperhatikan, memperlakukan, merawat dan membina raga kita, juga harus merawat, memperhatikan, memperlakukan dan membina kejiwaan kita secara seimbang atau sama dengan memperlakukan dan membina raga kita. Namun demikian kenyataannya sampai saat ini belum demikian, artinya bahwa perlakuan kita terhadap raga dan kejiwaan kita masih berat sebelah atau belum seimbang.
Sekalipun telah dimengerti bahwa antara jiwa dan raga saling mempengaruhi dan seharusnya mendapatkan perhatia yang sama, namun masih banyak orang yang karena lupa atau sebab lain atau tanpa disadari, memperlakukan aspek jiwa dan rasa ini dengan tidak adil atau tidak seimbang, yaitu lebih banyak menekankaan perhatiannya atau pembinaannya terhadap aspek raga saja. Hal ini banyak contoh yang dapat kita saksikan.
Seseorang yang merasa sakit atau menderita sakit tertentu, sebagai usaha penyembuhan biasanya dibawa ke dokter. Setelah ke dokter yang satu penyakitnya tidak kunjung sembuh, kemudian ke dokter lain, demikian seterusnya. Hal ini karena pada umumnya mereka hanya melihat akibat semata, tanpa melihat atau memang tidak tahu sebabnya. Sebagai akibat yang terlihat atau yang terasa memang sakit secara fisik, tetapi dapat juga disebabkan faktor psikologis. Namun sebagai akibatnya (seperti yang sudah disebutkan sebelumnya) bisa sama yaitu sakit secara fisik. Jika memang penyebabnya adalah faktor fisik (fisiologis), maka memang tepat dibawa ke dokter umum. Tetapi jika yang menjadi penyebabnya adalah faktor psikologis, walaupun setelah diobati oleh dokter umum menjadi sembuh, tetapi kemungkinan penyakit itu akan muncul kembali setelah pengaruh obat yang diberikan telah habis. Jika memang demikian, maka sebaiknya dibawa ke psikiater untuk dicari penyebab dari aspek yang lain yaitu aspek psikologis.
Tokoh Behavioristik
1. Edward Lee Thorndike (1874-1949 )
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha (trials) dan kegagalan (error) terlebih dahulu. Oleh karena itu teori belajar ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon mengikuti hukum-hukum betikut:
2. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Pavlov meraih penghargaan Nobel dalam bidang psikology of medicine pada tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Classic conditioning (pengkondisian) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Pavlov mengadakan operasi leher pada seekor anjing sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan maka akan keluarlah air liurnya. Kini sebelum makanan diperlihatkan maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar juga. Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
3. Burrhus Frederic Skinner ( 1904 -1990 )
Skinner dikenal sebagai tokoh behavioristik dengan pendekatan model instruksi langsung (directed instruction) dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Berdasarkan berbagai percobaan pada tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus–respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan menjadi dua yaitu penguatan positif yang berupa hadiah, perilaku atau penghargaan dan penguatan negatif yang berupa menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Prinsip belaja Skinner antara lain:
4. Robert Gagne ( 1916-2002 )
Menurut Gagne, belajar dimulai dari paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi dan prakteknya tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon.
5. Albert Bandura (1925- ? )
Teori belajar social Bandura menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap, dan reaksi emosi orang lain. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha (trials) dan kegagalan (error) terlebih dahulu. Oleh karena itu teori belajar ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon mengikuti hukum-hukum betikut:
- Hukum kesiapan yaitu semakin siap organisme memperoleh perubahan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
- Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
- Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
2. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Pavlov meraih penghargaan Nobel dalam bidang psikology of medicine pada tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Classic conditioning (pengkondisian) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Pavlov mengadakan operasi leher pada seekor anjing sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan maka akan keluarlah air liurnya. Kini sebelum makanan diperlihatkan maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar juga. Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
3. Burrhus Frederic Skinner ( 1904 -1990 )
Skinner dikenal sebagai tokoh behavioristik dengan pendekatan model instruksi langsung (directed instruction) dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Berdasarkan berbagai percobaan pada tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus–respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan menjadi dua yaitu penguatan positif yang berupa hadiah, perilaku atau penghargaan dan penguatan negatif yang berupa menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Prinsip belaja Skinner antara lain:
- Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguatan
- Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar
- Materi pelajaran digunakan system modul
- Dalam proses pembelajaran tidak digunakan hukuman
- Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer
- Dalam pembelajaran digunakan shaping.
4. Robert Gagne ( 1916-2002 )
Menurut Gagne, belajar dimulai dari paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi dan prakteknya tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon.
5. Albert Bandura (1925- ? )
Teori belajar social Bandura menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap, dan reaksi emosi orang lain. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.
Aplikasi Teori Behavioristik
Aplikasi Teori Behavioristik Terhadap
Pembelajaran Siswa:
Kekurangan teori behavioristik- Guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru.
- Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun simulasi.
- Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
- Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
- Kesalahan harus segera diperbaiki.
- Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
- Evalasi atau penilaian di dasari atas perilaku yang tampak.
- Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat meanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur
- Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuma sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan
- Siswa (teori skinner) baik hukuman verbal maupun fisik seperti kata–kata kasar, ejekan, jeweran yang justru berakibat buruk pada siswa.
- Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, kekuatan, kelenturan, power, dan daya tahan. Contoh: Percakapan bahasa asing, mengetik, menari, berenang, dan olahraga lainnya. Cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.
- Dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya
Fenomena Mengajar Penjasorkes
Permasalahan utama di dalam pembelajaran penjasorkes adalah bahwa aktivitas jasmani/gerak (termasuk olahraga)
belum dijadikan sebagai alat atau wahana untuk mencapai tujuan pendidikan.
Secara teknis masih ditemukan beberapa hal yang menjadi kendala dalam
pembelajaran
1. Tujuan kurang jelas
Tujuan kurang tergambar secara jelas, bahkan hanya mencantumkan tujuan fisik/psikomotor. Dalam penyusunan satuan pelajaran misalnya, hanya menggambarkan tujuan fisik/psikomotor. Hal ini tampak pada rumusan kompetensi inti (KI) maupun kompetensi dasar (KD).
Belum sepenuhnya memperhatikan tingkat perkembangan anak, yakni adanya kecenderungan terabaikannya nilai-nilai di luar aspek psikomotor dalam pelaksanaan pengajaran jasmani. Walaupun sasaran utama adalah pengembangan aspek psikomotor, tetapi aspek kognitif, afektif, dan sosial tidak tampak dalam kurikulum tersebut.
2. Ketidakjelasan/Tidak Adanya Persepsi yang Sama Terhadap Tujuan Pendidikan Jasmani
Salah satu penyebab ketidak berhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan jasmani adalah karena guru kurang atau tidak memahami mengenai makna, hakikat, tujuan, dan filosofi pendidikan jasmani itu sendiri. Padahal ini sangat mendasari pemikiran dan arah tindakan dalam melaksanakan program pendidikan jasmani dituntut memiliki kemampuan mengelola proses belajar mengajar agar secara komprehensif tujuan pendidikan jasmani dapat dicapai melalui aktivitas jasmani yang diberikan. Melalui aktivitas jasmani ini guru diharapkan dapat mengembangkan potensi fisik, mental, emosi, dan sosial anak. Dalam pelaksanaannya ternyata masih terjadi kekurang sesuaian dengan tujuan yang seharusnya, sehingga perlu adanya pelurusan atau koreksi. Salah satu indikatornya adalah bahwa banyak guru yang lebih berorientasi pada pencapaian prestasi olahraga dalam mengajar pendidikan jasmani.
3. Partisipasi Gerak Anak Kurang Optimal
Jika prestasi yang tinggi sebagai tujuannya, maka hanya beberapa anak (yang berminat/berbakat) yang akan terlibat dan aktif dalam pelajaran tersebut. Akibatnya tingkat keterlibatan siswa secara keseluruhan kurang/tidak terpenuhi, sehingga tingkat kualitas partisipasi gerak anak juga kurang optimum.
4. Pengemasan pokok bahasan lebih menekankan pada cabang olahraga bukan pada unit aktivitas
Penyajian materi di dalam kurikulum langsung menunjuk pada pokok bahasan/materi tertentu, tidak menyajikan dalam bentuk unit aktivitas.
5. Kurang memberikan kreativitas guru dalam mengajar
Karena penyajian kurikulum langsung menunjuk pada pokok bahasan/materi tertentu, tanpa memberikam peluang kepada guru untuk memilih materi pelajaran, maka guru hanya akan terpaku pada materi tersebut dan tidak berfikir untuk materi lain yang sejenis.
6. Tidak ada alternatif materi pelajaran pengganti, jika materi pelajaran dalam GBPP tidak dapat diajarkan
Dengan tidak adanya alternatif materi pelajaran sebagai pengganti, maka tidak akan memberikan keleluasaan guru dalam mengajar. Oleh karena itu, pengkajian terhadap beberapa materi pelajaran yang berbeda, yang memiliki karakteristik serupa, tetapi dapat mencapai hasil yang sama sangat diperlukan.
7. Metode Mengajar Terbatas dan Kurang Jelas
Strategi/metode mengajar dalam pendidikan jasmani dan olahraga sangat beragam. Metode yang digunakan berorientasi dari dominasi guru yang sangat besar kemudian makin berkurang dan peran dominasi tersebut makin bergeser ke siswa hingga siswa diberi kemandirian dalam menentukan program pelajaran. Dalam kenyataannya para guru hanya menerapkan metode Komando/Tugas.
8. Belum Adanya Alat Tes yang Baku
Hasil belajar penjasorkes adalah perubahan kualitas gerak yang secara tidak langsung berpengaruh pada aspek lain, seperti aspek kognitif, afektif, maupun aspek sosial. Untuk mengevaluasi hasil belajar ini diperlukan alat tes yang memenuhi kriteria sebagai alat ukur, adanya alat tes untuk mata pelajaran pendidikan jasmani yang terstandar sangat diperlukan.
9. Belum Tertanganinya Anak-anak Cacat Fisik secara Khusus
Berdasarkan UUD 1945 pasal 31 Ayat 1 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Dengan demikian, penanganan anak-anak cacat fisik di sekolah normal untuk mata pelajaran pendidikan jasmani sangat perlu.
10. Ada Materi Pelajaran yang Tidak Dapat Dilakukan
Ada beberapa materi pelajaran yang tidak dapat dilaksanakan, terutama materi pelajaran yang memerlukan fasilitas lapangan yang luas, seperti lapangan sepakbola.
1. Tujuan kurang jelas
Tujuan kurang tergambar secara jelas, bahkan hanya mencantumkan tujuan fisik/psikomotor. Dalam penyusunan satuan pelajaran misalnya, hanya menggambarkan tujuan fisik/psikomotor. Hal ini tampak pada rumusan kompetensi inti (KI) maupun kompetensi dasar (KD).
Belum sepenuhnya memperhatikan tingkat perkembangan anak, yakni adanya kecenderungan terabaikannya nilai-nilai di luar aspek psikomotor dalam pelaksanaan pengajaran jasmani. Walaupun sasaran utama adalah pengembangan aspek psikomotor, tetapi aspek kognitif, afektif, dan sosial tidak tampak dalam kurikulum tersebut.
2. Ketidakjelasan/Tidak Adanya Persepsi yang Sama Terhadap Tujuan Pendidikan Jasmani
Salah satu penyebab ketidak berhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan jasmani adalah karena guru kurang atau tidak memahami mengenai makna, hakikat, tujuan, dan filosofi pendidikan jasmani itu sendiri. Padahal ini sangat mendasari pemikiran dan arah tindakan dalam melaksanakan program pendidikan jasmani dituntut memiliki kemampuan mengelola proses belajar mengajar agar secara komprehensif tujuan pendidikan jasmani dapat dicapai melalui aktivitas jasmani yang diberikan. Melalui aktivitas jasmani ini guru diharapkan dapat mengembangkan potensi fisik, mental, emosi, dan sosial anak. Dalam pelaksanaannya ternyata masih terjadi kekurang sesuaian dengan tujuan yang seharusnya, sehingga perlu adanya pelurusan atau koreksi. Salah satu indikatornya adalah bahwa banyak guru yang lebih berorientasi pada pencapaian prestasi olahraga dalam mengajar pendidikan jasmani.
3. Partisipasi Gerak Anak Kurang Optimal
Jika prestasi yang tinggi sebagai tujuannya, maka hanya beberapa anak (yang berminat/berbakat) yang akan terlibat dan aktif dalam pelajaran tersebut. Akibatnya tingkat keterlibatan siswa secara keseluruhan kurang/tidak terpenuhi, sehingga tingkat kualitas partisipasi gerak anak juga kurang optimum.
4. Pengemasan pokok bahasan lebih menekankan pada cabang olahraga bukan pada unit aktivitas
Penyajian materi di dalam kurikulum langsung menunjuk pada pokok bahasan/materi tertentu, tidak menyajikan dalam bentuk unit aktivitas.
5. Kurang memberikan kreativitas guru dalam mengajar
Karena penyajian kurikulum langsung menunjuk pada pokok bahasan/materi tertentu, tanpa memberikam peluang kepada guru untuk memilih materi pelajaran, maka guru hanya akan terpaku pada materi tersebut dan tidak berfikir untuk materi lain yang sejenis.
6. Tidak ada alternatif materi pelajaran pengganti, jika materi pelajaran dalam GBPP tidak dapat diajarkan
Dengan tidak adanya alternatif materi pelajaran sebagai pengganti, maka tidak akan memberikan keleluasaan guru dalam mengajar. Oleh karena itu, pengkajian terhadap beberapa materi pelajaran yang berbeda, yang memiliki karakteristik serupa, tetapi dapat mencapai hasil yang sama sangat diperlukan.
7. Metode Mengajar Terbatas dan Kurang Jelas
Strategi/metode mengajar dalam pendidikan jasmani dan olahraga sangat beragam. Metode yang digunakan berorientasi dari dominasi guru yang sangat besar kemudian makin berkurang dan peran dominasi tersebut makin bergeser ke siswa hingga siswa diberi kemandirian dalam menentukan program pelajaran. Dalam kenyataannya para guru hanya menerapkan metode Komando/Tugas.
8. Belum Adanya Alat Tes yang Baku
Hasil belajar penjasorkes adalah perubahan kualitas gerak yang secara tidak langsung berpengaruh pada aspek lain, seperti aspek kognitif, afektif, maupun aspek sosial. Untuk mengevaluasi hasil belajar ini diperlukan alat tes yang memenuhi kriteria sebagai alat ukur, adanya alat tes untuk mata pelajaran pendidikan jasmani yang terstandar sangat diperlukan.
9. Belum Tertanganinya Anak-anak Cacat Fisik secara Khusus
Berdasarkan UUD 1945 pasal 31 Ayat 1 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Dengan demikian, penanganan anak-anak cacat fisik di sekolah normal untuk mata pelajaran pendidikan jasmani sangat perlu.
10. Ada Materi Pelajaran yang Tidak Dapat Dilakukan
Ada beberapa materi pelajaran yang tidak dapat dilaksanakan, terutama materi pelajaran yang memerlukan fasilitas lapangan yang luas, seperti lapangan sepakbola.
Makalah Paradigma Pembangunan Olahraga Indonesia
PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN OLAHRAGA
A. Latar Belakang
Saat ini, dikenal dua sistem pembinaan olahraga yang umumnya dianut di negara-negara maju, yaitu pembinaan olahraga dengan menonjolkan pada olahraga elit (elie sport) dan pembinaan olahraga yang memfokuskan pada budaya gerak (sport and movement culture) (Mutohir, T.C, 2004). Olahraga elit dicirikan oleh adanya kompetisi dan maksimalisasi prestasi. Kedua ciri tersebut pada awalnya terasa sangat menonjol ketika terjadi politisasi olahraga, yaitu selama berlangsungnya perang dingin antara blok barat dan blok timur. Kemudian ini dilanjutkan di era komersialisasi olahraga, mediatisasi olahraga, dan saintifikasi olahraga sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Kemenangan pada akhirnya merupakan sesuatu yang diagungkan – apapun bentuknya. Dalam kondisi yang demikian, dampak negatif darinya seolah menjadi tak terhindarkan seperti: penggunaan obat perangsang (doping), eksploitasi fisik, dan kekerasan yang pada gilirannya berujung pada pendangkalan nilai-nilai olahraga itu sendiri. Sebagai bentuk kritik dari semua itu, muncullah “de-sportification of sport” yang ide dasarnya berupa gerakan “sport for all”.
Di banyak negara, olahraga elit (professional sport, sportification of sport) cenderung mendominasi model pembinaan olahraga sebagaimana yang terjadi di Amerika, Jerman, dan sangat boleh jadi Indonesia. Sedangkan negara seperti Belanda dan Singapura, pembinaan olahraga lebih diarahkan pada budaya gerak masyarakat (de-sportification of sport, sport for all) yang berujung pada perilaku hidup sehat. Sistem mana yang lebih unggul? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut, mengingat banyak faktor yang ikut mempengaruhi seperti tujuan yang diinginkan dan potensi yang dimiliki oleh suatu negara. Namun demikian, makalah ini berargumentasi bahwa kedua sistem tersebut tidak harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan bersifat komplementer.
Olahraga elit harus dianggap sebagai konsekuensi dari sebuah sistem piramida pembinaan yang didasarkan pada budaya gerak yang mapan. Sebab, tanpa budaaya gerak yang telah mengakar kuat di masyarakat, sulit rasanya akan dihasilkan prestasi olahraga elit secara berkelanjutan.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka dikenal tiga pilar bangunan olahraga, yaitu: pendidikan jasmani/olahraga pendidikan, olahraga masyarakat, dan olahraga prestasi (Mutohir & Lutan, 2001) ketiga pilar bangunan tesebut saling terkait satu sama lain.
Olahraga tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi, sementara sisi yang lain diabaikan. Pembangunan keolahragaan nasional harus ditelaah dan dipahami dari sudut pandang yang luas dan mendasar. Dari perspektif kesisteman, sangat dipahami bahwa hasil pembinaan dalam subsistem olahraga kompetitif yang menekankan pencapaian dan peningkatan prestasi, terkait langsung dengan sub-subsistem lainnya yakni subsistem pendidikan jasmani dan subsistem olahraga masyarakat. Keseluruhan subsistem tersebut harus dibina dan sekaligus dibentuk di atas landasan yang kokoh yakni partisipasi aktif dan teratur secara meluas di kalangan masyarakat Indonesia.
Partisipasi aktif dan teratur itu terbentuk berdasarkan kecintaan terhadap olahraga yang kemudian melekat sebagai bagian dari cara hidup dan budaya, hal ini diperoleh, tidak dengan sendirinya, melainkan melalui proses belajar atau proses pembudayaan. Dalam kaitan itu, penyelenggaraan pendidikan jasamni dan olahraga di sekolah menempati kedudukan yang amat strategis. Oleh karenanya, status pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah harus diangkat dan disejajarkan dengan kegiatan akademik lainnya. Selain itu, kegiatan olahraga masyarakat (termasuk olahraga rekreasi) ikut serta menjadi bagian terpadu dalam kesisteman, dan dalam perkembangannya juga akan mempengaruhi subsistem lainnya, termasuk olahraga kompetitif.
Banyak orang beranggapan bahwa keberhasilan olahraga identik atau setidaknya dikonotasikan dengan perolehan medali dalam suatu event. Anggapan yang demikian tentu tidak salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar. Sebab, dalam setiap pertandingan multievent, perolehan medali memang menjadi ukuran keberhasilan suatu daerah atau negara dalam mengembangkan prestasi olahraganya. Tetapi sebenarnya, medali hanyalah satu aspek, dan bukan satu-satunya. Selain itu, olahraga prestasi hanyalah salah satu pilar dari dua pilar bangunan olahraga lainnya, yaitu: olahraga masyarakat dan pendidikan jasmani. Ada filosofi dasar yang jauh lebih esensial dari hanya sekedar mendapatkan medali, yakni “spirit Olympism” yang ajaran dasarnya adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (celebration of humanity). Dengan keyakinan dasar seperti itu, maka harus ditanggalkan upaya primitive-destruktif: atas nama medali – atlet menggunakan obat perangsang; atas nama kemenangan – segala cara ditempuh; atas nama gengsi – perkelahian terjadi; dan atas nama performance – individu atlet jadi korban.
Menurut Coubertin, penggagas Olympiade modern, pentas olahraga dimanapun, kapanpun, dan apapun bentuknya, harus selaras dengan spirit Olympism. Sebab, olahraga merupakan manifestasi esensial dari spirit Olympism. Bukan semata-mata kompetisi dan kemenangan, melainkan juga partisipasi dan kerjasama. Bukan sekedar olahraga sebagai aktivitas, tetapi juga sebagai a formative and developmental in influence contributing to desirable characteristics of individual personality and social life. Lebih dari itu, spirit Olympism seharusnya tidak hanya menjadi filosofi dasar dalam olahraga, tetapi juga harus men-transenden dalam konteks kehidupan sehari-hari (Maksum, 2002). Tidak hanya bagi atlet, tetapi juga bagi semua orang. Tidak hanya dalam kurun waktu tertentu, tetapi mencakup seluruh rentang waktu kehidupan. Pendek kata, mengingat spirit dasar Olympism yang pada akhirnya bermuara pada nilai-nilai dan harkat kemanusiaan, maka Olympism merupakan filosofi kehidupan.
Dengan demikian tujuan olahraga pada akhirnya bermuara pada manusia itu sendiri. Artinya, olahraga merupakan wahana mengembangkan keharmonisan umat manusia secara paripurna. Oleh karena itu, konsep dasar pembangunan olahraga harus berbasis pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan kata lain, mengintegrsikan pembagunan olahraga dengan pembangunan masyarakat. Ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lawson (2003) dalam Konfrensi Internasional tentang Olahraga dan Pembangunan Berkelanjutan di Yogyakarta bahwa olahraga memiliki kontribusi terhadap pembangunan setidaknya dalam empat hal:
1. Menghasilkan dan memperkuat jaringan social (social network)
2. Membentuk identitas kolektif (collective identities)
3. Memperbaiki kesehatan manusia dan lingkungan.
4. Meningkatkan kesehatan mental individu dan keluarga.
Sudah sejak lama kita mengingatkan bahwa orientasi pembangunan olahraga bangsa ini sepertinya bergerak kearah yang salah. Kita lebih memacu prestasi tanpa memperhatikan struktur bangunan yang mendukung prestasi itu sendiri. Prestasi seharusnya dianggap sebagai konskuensi dari adanya struktur bangunan olahraga yang kokoh – yang salah satu pilar utamanya adalah budaya berolahraga dari masyarakat. Kita semua menyadari bahwa selama ini pembangunan olahraga kita memang selalu dihadapkan pada persoalan yang tidak mudah, antara kepentingan sesaat untuk mendapatkan target medali dan kepentingan yang lebih dalam, untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan masyarakat yang berujung pada peningkatan kualitas hidup. Mana yang kita pilih? Sekali lagi, tidak mudah untuk menentukan pilihan. Akan tetapi, bagaimanapun, kita harus memunculkan kesadaran baru bahwa pembangunan manusia Indonesia yang bugar dan sehat harus berjakan seiring dengan pembentukan prestasi olahraga. Bahkan jika harus memilih, jauh lebih bermanfaat membangun manusia Indonesia yang sehat terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk prestasi olahraganya.
Pembangunan olahraga hakikatnya adalah suatu proses yag membuat manusia memiliki banyak akses untuk melakukan aktivitas fisik. Ia harus memampukan setiap orang memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, baik mengenai fisik, intelektual, emosi, sosial, maupun spiritualnya secara paripurna.
B. Permasalahan
Ada dua permasalahan yang ditampilkan penulis dalam makalah ini yaitu:
- Apa yang perlu ditata dalam memajukan Olahraga nasional dalam kaitannya dengan program Indonesia Bangkit?
- Apa yang perlu ditata oleh Departemen Pendidikan Nasional dalam kaitannya dengan memajukan Olahraga?
Tujuan dari tulisan ini adalah sebagai referensi awal bagi pembangunan olahraga nasional dengan perspektif penulis sendiri, tentunya dalam kerangka membangun kembali keajaiban olahraga nasional yang semakin lama semakin terpuruk dari segi prestasi, dalam hal ini kaitannya dengan program Indonesia Bangkit dan semakin memudarnya budaya gerak dari masyarakat.
D. Manfaat
Manfaat dari tulisan pada makalah ini sebagai wacana bagi (1) Manusia Indonesia yang sadar akan manfaat dan peranan OLAHRAGA bagi dirinya sendiri dan bagi Negara-Bangsa, (2) Olahragawan Indonesia sejati yang berprestasi tinggi, (3) Pelatih Olahraga dan Guru Pendidikan Jasmani yang melatih dan mengajar berlandaskan perkembangan ilmu yang mutakhir, (4) Pengurus/Pembina olahraga yang mampu menjalankan organisasi dan manajemen kepengurusan secara efektif dan efisien, dan (5) Pemimpin olahraga yang berkepribadian keteladanan dan kepeloporan yang mampu menjawab tantangan zaman.
E. Pembahasan
Permasalahan yang dikemukakan dalam makalah ini, akan tercermin dalam pembahasan berikut, tentunya dengan persepsi penulis sendiri dan berbagai referensi pendukung yang berkaitan dengan topik makalah ini.
1. Akselerasi Pembangunan Olahraga dan Penguatan Kelembagaan
Sejak tahun 1950-an, pemerintah pada hampir semua negara di dunia menaruh perhatian terhadap olahraga dengan aneka motif kebijakan, mulai dari nasionalisme hingga pada kesiapan bela negara,. Kita di Indonesia pernah memanfaatkan olahraga sebagai bagian dari platform politik, “nation and character building” hingga peralihan kekuasaan dari bung Karno ke pemerintahan Soeharto olahraga mengalami perubahan, yang sebelumnya olahraga sebagai alat revolusi diganti menjadi bagian dari pembangunan nasional terutama untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sayang, walaupun olahraga dianggap penting dalam pembangunan kala itu tetap tidak memperoleh prioritas.
Sejak tahun 1966 hingga menjelang tahun 1998, olahraga dimanfaatkan sebagai alat “state building” sementara sistem sentralisasi selama lebih dari tiga dasawarsa belum sempat dikoreksi dengan kelemahan diantaranya memapankan “inequality” atau ketimpangan dalam berbagai bentuk baik kesempatan berolahraga pada tingkat individu maupun ketidakmerataan antar daerah. Perubahan sistem politik sejak reformasi digulirkan sesungguhnya juga berdampak pada sistem nasional pembinaan olahraga. Otonomi lokal diterapkan tidak sebatas pengertian manajemen, adanya pelimpahan kewenangan kepada daerah melalui pendekatan desentralisasi, tetapi jauh dibalik itu ialah suatu harapan yakni bangkitnya inisiatif untuk merencanakan dan memecahkan masalah lokal. Sistem pembangunan keolahragaan nasional perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang amat mendasar tersebut, sehingga olahraga perlu dibina lebih sistematik dan koheren dengan pembangunan sektor lainnya, terutama untuk menggerakan pembangunan pada tingkat komunitas yang lebih kecil untuk menuju terciptanya “civil society”. Pada intinya pembangunan keolahragaan ini bertumpu pada tumbuhnya inisiatif dan partisipasi yang bersifat otonom, sebagai lawan dari pendekatan “mobilisasi” dan sikap komformitas yang serba seragam demi mencapai tujuan pembinaan yang bersifat pragmatis.
Dalam kaitan itu, maka domain keolahragaan menjadi bertambah luas pelatarannya; ia tidak sebatas kegiatan olahraga kompetitif prestasi dan elit yang bersifat segelintir warga negara yang berkemampuan lebih. Yang menjadi sasaran binaan ialah segenap warga negara dengan hak yang merata sehingga bersifat inklusif, namun upaya untuk ”memasyarakatkan olahraga mengolahragakan masyarakat” itu hanya akan menjadi ilusi dan retorika belaka sepanjang faktor-faktor yang memperkukuh ketimpangan dalam hal kesempatan tidak dapat diatasi. Kondisi ini tidak saja hanya berpengaruh pada tatanan struktural yang sesungguhnya sudah harus dapat diatasi melalui konsep otonomi daerah. Tetapi persepsi yang kurang tepat terhadap interpretasi otonomi menyebabkan munculnya variasi yang luar biasa dalam tatanan kelembagaan keolahragaan.
Dilikuidasinya Kantor Menpora semasa pemerintahan Gus Dur sebagai akibat transformasi struktural karena anggapan bahwa urusan olahraga sepatutnya diserahkan kepada rakyat, membuat situasi pembinaan olahraga menjadi tidak jelas. Masyarakat, dalam kondisi seperti itu masih belum mampu mengurus olahraga dan masih memerlukan dukungan pemerintah. Persoalan lebih diperumit dengan adanya masalah yang lebih dalam yaitu kemiskinan dan kualitas hidup yang rendah, termasuk kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang rendah pula. Semua pemasalahan tersebut saling berpengaruh dalam pola timbal balik menyebabkan sistem pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional semakin kompleks.
Tentu tidak ada yang mengelak bahwa sekolah sebagai domain pendidikan di samping keluarga akan menjadi landasan dari keseluruhan sistem, karena di samping diperoleh manfaat dari sisi pendidikan juga pembentukan peradaban. Landasan ini jualah ysng menjadi basis bagi bangunan sistem pembinaan dan pengembangan olahraga yang meliputi olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga kompetisi. Olahraga kompetisi yang bermuara pada peningkatan martabat bangsa merupakan bagian dominan dari budaya berolahraga.
Di Indonesia, kita ingin memposisikan dan memberdayakan olahraga bukan semata-mata sebagai respon kultural atau reaksi dinamis terhadap perubahan lingkungan dalam makna luas, mencakup lingkungan fisik, sosial dan budaya. Olahraga harus dimanfaatkan sebagai bagian dari “mesin” pembangunan. Namun sayang, meskipun pesan yang menggema secara internasional bahwa “olahraga merupakan hak asasi manusia yang fundamental” tetapi masih terjadi hak itu kurang terperhatikan.
Di lingkungan PBB sendiri dalam rangka menciptakan dunia yang lebih damai dan kehidupan yang lebih baik, dimensi keolahragaan meluas, sehingga layanan jasapun bertambah luas cakupannya yang meliputi; olahraga dan pendidikan, olahraga dan kesehatan, olahraga dan pembangunan, olahraga dan komunikasi, olahraga dan kemitraan, dan olahraga untuk menanggulangi HIV termasuk narkoba. Dengan demikian olahraga dalam makna yang luas “melumat” dengan persoalan-persoalan sekitar dan karena itu olahraga, termasuk kelembagaannya berfungsi untuk ikut serta memecahkan masalah sosial dan bersama-sama sektor lainnya, utamanya pendidikan, yakni ikut memberikan pengembangan institusi, substansi kegiatan dan cara-cara pengorganisasiannya. Namun demikian, apa yang diinginkan oleh PBB agar olahraga dijadikan sebagai instrumen pembangunan dan perdamaian dalam spektrum strategi raya pembangunan nasional hingga dewasa ini belum mendapatkan posisi dan prioritas utama. Padahal sejatinya olahraga dapat berkontribusi secara berarti dalam upaya meningkatkan ketahanan bangsa baik dalam lingkup integrasi bangsa (politik), kesejahteraan sosial ekonomi, kebudayaan dan peradaban, serta kemampuan bela negara (keamanan).
Dalam fase peraliahan sekarang ini tatkala kota dan kabupaten ingin dijadikan sebagai unit terkecil untuk menjadi basis pembangunan maka kita sadar benar bahwa kelemahan ada pada kapasitas membangun dan sekaligus pula kapasitas manajemen. Tak dapat dipungkiri pula untuk mendukung percepatan pembaharuan itu kita tidak memilki sumber daya yang memadai yang kesemuanya itu terkait langsung dengan lemahnya aspek kelembagaan, kebijaksanaan dan perturan perundangan.
Karena itu menyongsong tahun mendatang, tiga hal yang memerlukan pembenahan, pertama pada tataran supra struktur, kita perlu memperkuat aspek kelembagaan mulai dari pusat, lebih-lebih pada tingkat daerah. Sesuatu hal yang dirasakan sekarang ini ialah Direktoral Jenderal Olahraga, “rumahnya “ begitu kecil untuk mewadahi kebijakan nasional dengan spektrum kegiatan yang lebih kompleks.
Demikian pula halnya dengan lembaga yang di tingkat propinsi, kota dan kabupaten. Dalam konteks negara kesatuan RI dengan luas wilayah seluas daratan Eropa, kita memerlukan jaringan lembaga yang kuat walaupun secara birokrasi tidak selugas sebelum reformasi. Tetapi kita memerlukan pada tingkat propinsi dan kota/kabupaten yang lebih kuat pula. Pertanyaan yang muncul, apakah KONI perlu dibubarkan seandainya ada departemen/kementrian olahraga? KONI sebagai lembaga non pemerintah yang diberi kewenangan oleh pemerintah dengan Kepres 72 Tahun 2001 mengemban tugas antara lain membantu pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan nasional di bidang pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi; melaksanakan dan mengkoordinasikan keikutsertaan induk-induk cabang olahraga dalam multievent nasional, regional dan internasional. KONI dalam eksistensinya juga sebagai Nation Olympic Committee yang secara langsung menjadi anggota dari International Olympic Committee. Untuk menjadi anggota IOC organisasi tersebut sifatnya harus nonpemerintah. Dalam kondisi seperti itu, maka keberadaan KONI merupakan keniscayaan yang harus ada, di samping pemerintah. Justru itulah perlu adanya kebijakan yang dapat mengharmonisasikan antara kelembagaan olahraga pemerintah (departemen/kementrian) dengan KONI. Dan ini selaras dengan paradigma baru pembangunan olahrga di mana pembinaan dan pengembangan olahraga sebaiknya dilaksanakan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat.
KONI dan seluruh aparaturnya baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah harus segera mengadakan konsolidasi terhadap perkembangan keolahragaan yang dibinanya selama ini sampai dengan tahun 2006. Kemudian mengambil langkah-langkah baru dalam rangka perbaikan, penyempurnaan dan peningkatan di segala bidang. Antara lain VISI baru lebih mengarah kepada menetapkan kebijaksanaan keolahragaan yang baru yang lebih terencana dan terarah yang bangkit dari keterbelakangan dan mampu menatap masa depan yang lebih cerah, yang diproses berlandaskan koordinasi dan keterpaduan oleh semua jajaran yang terlibat. Sedangkan bunyi MISI-nya adalah: menerapkan sistem pembinaan olahraga yang lebih mendasar dan meng-akar yang berlandaskan iptek olahraga yang tepat guna mengejar prestasi oahraga yang makin meningkat dan akhirnya mendunia.
Kita telah memiliki Peta Olahraga Indonesia, mengapa belum dikerjakan. Dan jangan lupa perlu penyesuaian kembali berdasarkan evaluasi terakhir di penghujung tahun 2006. Kebijaksanaan apa yang hendak diterapkan secara nasional, dalam rangka mengikutsertakan seluruh potensi yang kita miliki yang begitu tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Di dalam hal ini perlu diterapkan prinsip prioritas, karena memang sesungguhnya apa yang kita miliki dewasa ini terbatas sekali. Jadi bekerjalah secara efisien dan efektif. Buktikan kepada negara-bangsa bahwa olahraga meskipun dengan segala keterbatasannya masih mampu membanggakan negara-bangsa Indonesia di tingkat internasional. Tidak terbatas itu saja, tetapi dapat tumbuh sebagai contoh teladan bagi pembangunan di bidang-bidang lainnya. Untuk itu organisasi dan manajemen olahraga harus kondusif yang dilakukan dengan efisien (hemat) dan efektif (tepat).
Induk organisasi cabang olahraga harus dapat menggerakkan roda organisasi sesuai keputusan kongres/munas dan anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Sedangkan pelaksanaan program dilakukan dengan konsisten dan disiplin.
Induk organisasi cabang olahraga harus dapat “menjual” cabang olahraganya bahkan dianjurkan tergerak melangkah keindustrialisasi dan berjuang untuk mandiri. Sebagai contoh sepak bola di Jepang yang mulai dari tahap belajar dari luar negeri dan bertumbuh menjadi industri sepak bola yang sangat dibanggakan
Untungnya pada tataran supra struktur ini perangkat lunak berupa UU tentang keolahragaan sudah disahkan. Dengan adanya UU keolahragaan ini pembinaan dan pengembangan olahraga yang cenderung semakin kompleks ada landasan dan payung hukum yang kokoh. Adanya UU tentang keolahragaan hingga kemudian perlua didukung oleh kelengkapan infrastruktur untuk mewadahi seluruh kegiatan yang justru berkembang pesat dan sangat bersifat massif.
Operasionalisasi keseluruhan kebijakan itu memerlukan penigkatan pada tataran substruktur yang dalam hal ini kita percaya pembinan di klub-klub termasuk di lingkungan pendidikan formal dan non formal serta masyarakat merupakan jantung dari seluruh perkara pembinaan. Pada tataran praksis inilah kita begitu lemah dan memerlukan peningkatan, diantaranya melalui peningkatan baik dari segi jumlah maupun mutu guru/pendidik pendidikan jasmani dan para pelatih olahraga, termasuk para penggerak dan jenis-jenis relawan lainnya untuk memperkuat sistem pembinaan keolahragan. Keseluiruhan proses itu membutuhkan “energi” berupa dana pembinaan yang penggunaannya tentu harus meningkat baik dari sisi transparansi maupun pertanggung jawab dari hasilnya. Asas efisiensi, kemana dana dimanfaatkan secara tepat merupakan sebuah prioritas.
Dari perbaikan dan penguatan pada tiga tataran tersebut barulah kita menuai hasil yang diharapkan. Bukan hanya prestasi yang diraih tetapi juga mutu kehidupan yang lebih sejahtera. Dengan demikian olahraga menjadi bermakna dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan akan memperoleh status yang layak dalam pembangunan bangsa.
2. Praktek Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Seperti diketahui UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah beredar, tetapi peranan Penjas dan Olahraga belum optimal. Hal ini perlu dipertegas dan dilengkapi. Penjabaran kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler Penjasor mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi harus kelihatan jelas tahapan dan kaitannya dalam rangka membangun suatu proses pembinaan yang memiliki sasaran-sasaran tertentu. Dalam hal ini perlu diarahkan kepada dua sasaran, yaitu: (1) manusia sehat jiwa-raga, dan (2) manusia berprestasi olahraga yang tinggi. Oleh karena itu sebagai tindak lanjut kegiatan ekstra kurikuler, perlu dilengkapi dengan jenjang pertandingan olahraga mulai dari intern sekolah itu sendiri, kemudian dilanjutkan dengan kejuaraan lokal, propinsi, nasional dan internasional.
Sesungguhnya pada tingkat kegiatan ekstra kurikuler harus sudah diterapkan dua proses, yaitu: (1) penemuan bakat, dan (2) pembinaan bakat. Sebagai kelanjutannya, setiap sekolah memiliki perkumpulan olahraga sekolah.
Dasar dan akar kegiatan di sekolah harus dimulai di Taman Kanak-kanak dan di Sekolah Dasar. Sebab bagi anak, gerak adalah bukti penting dari keberadaannya. Dengan gerak ia belajar tentang pengambilan keputusan mengikuti petunjuk, bekerja sama dengan temannya, meningkatkan kreativitasnya dan mengenali dirinya sendiri. Si anak menggunakan gerak sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan merupakan tujuan itu sendiri. Dengan demikian melalui gerak ia secara tidak langsung mempelajari bagaimana dan mengapa bagi setiap kegiatan yang dilakukannya. Gerak adalah dasar dari bermain. Melalui bermain ia belajar sosialisasi, pertumbuhan gerak dan bahasa akan terjadi, demikian pula kemana untuk berdiri sendiri akan timbul dan tumbuh kepercayaan diri sendiri. Dan pada akhirnya melalui gerak bermain akan timbul minat dan perhatiannya terhadap sesuatu. Kesimpulannya, perkenalan terhadap olahraga harus dimulai di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
Kemudian dilanjutkan dengan penjabaran kurikulum Penjas di Sekolah Dasar. Harus jelas apa yang menjadi tujuan umumnya yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, apa yang menjadi tujuan khusus yang berkaitan dengan kegiatan Penjas itu sendiri dan bagaimana pula dengan materi yang disajikan. Di dalam hal ini prinsip berkaitan, bertahap dan peningkatan perlu dipakai sebagai landasan. Kesemuanya itu harus dapat dengan jelas tergambar di buku pedoman mengajar untuk guru Penjas. Dan alangkah baiknya kalau ini dapat dimonitor dan evaluasi setiap tahunnya dalam rangka menjamin adanya penyempurnaan dan pembaharuan.
Ditambah lagi dengan fungsi dan status nilai rapor untuk penjas perlu diangkat untuk mampu menumbuhkan motivasi.
Di samping kegiatan kurikuler, di SLTP dan SMU, juga terdapat kegiatan ekstra kurikuler yang merupakan kelanjutannya dan dilakukan di luar jam pelajaran sekolah. Di sini para pelajar mulai diperkenalkan dengan latihan olahraga untuk mencapai prestasi tinggi. Mereka membentuk perkumpulan olahraga sekolah untuk mengikuti rangkaian kegiatan bertanding dari cabang olahraga tertentu, mulai dari tingkat antar kelas, antar sekolah, daerah, wilayah, nasional dan akhirnya internasional. Dengan demikian proses pemassalan, pembibitan dan peningkatan prestasi mulai digulirkan.
Untuk menindak lanjuti masalah tersebut, perlu dipikirkan dan ditentukan kriteria cabang olahraga yang dinominasikan, peraturan-peraturan khusus dan waktu pelaksanaan yang hendak dipakai.
Sudah jelas cabang olahraga seperti atletik, renang, dan senam harus dinomor satukan. Kemudian kita beralih ketenis meja dan tenis yang aturan mainnya dapat disederhanakan dan disesuaikan, karena dapat dilakukan di ruang terbatas (tenis mini, peralatan sederhana). Kemudian bulutangkis yang sudah mendunia prestasinya, sepak bola dan bola basket yang telah memasyarakat, pencak silat, dan panahan yang merupakan warisan budaya kita yang perlu ditumbuhkembangkan.
Di dalam menerapkan kegiatan cabang-cabang olahraga tersebut jangan lupa memperhatikan periodisasinya seperti: pada usia berapa mulai dilatih cabang olahraga, dilanjutkan dengan waktu spesialisasinya, dan pada akhirnya pada usia berapa dapat dicapai prestasi tinggi.
Untuk mendukung dan menjalankan kegiatan ekstra kurikuler tersebut, dibutuhkan pelatih-pelatih olahraga yang terdididk untuk itu dan secara khusus memiliki kompetensi kepelatihan dari cabang olahraga tertentu.
Apa salahnya, bagi pelajar yang telah menunjukkan prestasinya di cabang olahraga tertentu, dan ternyata dapat dilanjutkan pembinaan untuk berprestasi internasional, diberikan beasiswa untuk masuk Perguruan Tinggi. Jadi dengan demikian sekaligus, muara perjalanan sistem pembinaan sekolah bermuara di Perguruan Tinggi yang memasuki babak terakhir terjadinya prestasi internasional yang dicita-citakan.
Rangkaian kegiatan ekstra kurikuler olahraga seperti diutarakan di atas, sebenarnya sudah berperan di dalam gagasan program pendidikan yang menyeluruh.
Masalah berikut yang perlu ditanggulangi adalah mengenai ketenagaan guru Penjas dan pelatih olahraga. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah masih kekurangan 40.000 tenaga guru Penjas. Pertanyaannya sekarang, lembaga yang bagaimana yang menciptakan dan kemahiran apa yang perlu diberikan untuk mampu bertugas dengan baik serta bagaimana menunjang kariernya dengan aturan-aturan yang menjangkau masa depan. Sekali-kali jauhi diri dari pengadaan ketenagaan yang tambal sulam dan asal jadi saja.
Jadi melihat penuturan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa olahraga tidak terbatas dikerjakan dan menjadi tanggung jawab satu lembaga saja, tetpai banyak lembaga terkait, baik pemerintah, legislatif, maupun masyarakat luas, dan orang per-orang. Masing-masing mempunyai fungsi dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Bekerja dengan sebaik-baiknya dalam rangka meraih hasil optimal. Untuk itu perlu adanya Koordinasi dan Keterpaduan.
Pelopor Koordinasi dan Keterpaduan adalah lembaga Departemen Pendidikan Nasional dan Komite Olahraga Nsional Indonesia yang memiliki landasan kerja yang berdasar dan berakar yang benar dan kuat bagi pembangunan sistem pembinaan olahraga (proses pemasssalan, proses pembibitan, dan proses peningkatan prestasi) dalam rangka mencapai sasaran: manusia sehat jiwa-raga dan manusia berprestasi olahraga yang tinggi. Dengan demikian kita akan mampu membangun tahapan-tahapan dari Keluarga Berolahraga, Masyarakat Berolahraga, dan akhirnya Bangsa Berolahraga.
Bayangkan!
1. Andaikata beberapa puluh juta orang melakukan kegiatan olahraga secara teratur dan memanfaatkan olahraga sebagai bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari, maka tidak mustahil akan muncul beberapa ratus ribu bibit unggul yang memiliki bakat dan potensi. Tidak perlu lagi ada ide program naturalisasi seperti dicabang olahraga sepakbola untuk memajukan sepakbola.
2. Andaikata mereka dilatih secara khusus, maka tidak mustahil akan muncul beberap puluh ribu calon juara berbagai cabang olahraga.
3. Andaikata mereka dibina melalui proses pembinaan menuju prestasi tinggi, maka tidak mustahil akan muncul beberapa ribu calon juara dunia di berbagai cabang olahraga.
Untuk itu, kita perlu menyusun program-program untuk bangkit kembali dan mampu menatap masa depan. Diantaranya:
1. Optimalisasi Pemberdayaan Kelembagaan Keolahragaan dengan tujuan agar lembaga-lembaga terkait mampu berkembang makin meningkat kualitas dan karyanya.
2. Pemantapan Sistem Pembinaan Olahraga Nasional dengan tujuan prestasi olahraga makin meningkat dan akhirnya mendunia.
3. Pemantapan IPTEK Olahraga dengan tujuan segala sesuatu kita kerjakan dengan efektif dan efisien dalam rangka terciptanya peningkatana prestasi olahraga yang berkelanjutan.
Pada akhirnya perjuangan kita yang terus menerus dan tidak mengenal berhenti sampai tujuan akhir dapat dicapai akan membuahkan manusia-manusia Indonesia yang dapat membuktikan dirinya, mampu bangkit kembali dan mampu mengharumkan Negara-bangsa Indonesia melalui prestasi olahraga dan pribadi-pribadi pemeran olahraga yang dapat diunggulkan sepanjang masa.
F. Kesimpulan
1. Optimalisasi Pemberdayaan Kelembagaan Keolahragaan, terutama dalam hal adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan. Perubahan mulai dari tataran supra sturuktur, infra struktur, dan sub struktur baik di tingkat pusat, terlebih lagi di tingkat daerah.
2. Penataan Bangunan Sistem dan Peningkatan Partisipasi. Hasil pembinaan dalam subsistem olahraga kompetitif yang menekankan pencapaian dan peningkatan prestasi, terkait langsung dengan sub-subsistem lainnya yakni subsistem pendidikan jasmani dan subsistem olahraga masyarakat. Keseluruhan subsistem tersebut harus dibina dan sekaligus dibentuk di atas landasan yang kokoh yakni partisipasi aktif dan teratur secara meluas di kalangan masyarakat Indonesia.
3. Pemberdayaan Iptek dan Kelembagaan Pendidikan Olahraga. Kedudukan Iptek Olahraga perlu diberdayakan dengan menitikberatkan iptek sederhanan yang murah dan dapat dilaksanakan dalam rangka membuat keputusan-keputusan pembinaan yang cermat dan tepat. Semua lembaga tinggi di bidang keolahragaan juga perlu diberdayakan untuk meningkatkan jumlah tenaga Pembina (guru, pelatih, dll), di samping peningkatan kemampuan dalam riset di bidang olahraga.
G. Referensi
1. Mutohir, T.C., Olahraga dan Pembangunan Meraih Kembali Kejayaan, Direktorat Jenderal Olahraga – Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004.
2. Mutohir, T.C & Lutan, R., Olahraga dan Transformasi Nilai. Dalam Rusli Lutan, Olahrga dan Etika Fair Play. Direktorat Jenderal Olahraga – Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2001.
3. Maksum, A., Pengkajian Sport Development Indeks (Cetakan 1). Surabaya: University Press, 2004.
4. Komite Olahraga Nasional Indonesia, Proyek Garuda Emas, Rencana Induk Pengembangan Olahraga Prestasi di Indonesia 1997-2007. KONI Jakarta, 1998.
5. Harsuki., Perkembangan Olahraga Terkini Kajian Para Pakar, Divisi Buku Sport PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003.
6. Lawson, H.A., Empowering people and advancing community development: The social work of sport, exercise, and physical education programs. Paper presented in International Conference on Sport and Sustainable Development. Yogyakarta, September 2003.
Langganan:
Postingan (Atom)